Predikat Zona Kuning Kualitas Pelayanan Publik Pemerintah Kota Pangkalpinang, Kenapa? Catatan Tanggapan Terhadap Survey Ombudsman RI

Opini publik136 views

Pangkalpinang|jejakkriminal.com-Beberapa waktu lalu Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui Asisten Ombudsman Agung Nugraha (Bangka Pos, 25 dan 26 Januari 2022) merilis hasil Survey Kepatuhan Standar Pelayanan Publik Tahun 2021 oleh beberapa pemerintah daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pada hasil survey tersebut, Pemerintah Kota Pangkalpinang mengalami penurunan Tingkat Predikat dari Zona Hijau ke Zona Kuning. Ini berarti, bahwa pelayanan public dalam buentuk penyediaan fasilitas publik, seperti: terminal, parker, pasar, penerangan lampu jalan, sampah, sanitasi, air bersih, dan seterusnya, kurang memuaskan, bahkan cendrung mengabaikan ke-inginan dan kebutuhan warga kota. Karena pada dasarnya pelayanan publik itu adalah POLITIC AS CHANGE maka pengabaian ini dapat berdampak timbul penurunan tingkat kepercayaan/legitimasi terhadap kepemimpinan walikota yang mereka pilih pada PILKADA 2018. Apalagi menurut UU No.25/2009 kepatuhan terhadap standar kualitas pelayanan publik dipengaruhi oleh kesadaran dan kepatuhan kepala daerah (KDH). Selain itu, menurut penulis juga dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan dan kapasitas menejerial KDH dalam membina, mengarahkan dan menggerakkan mesin birokrasi (OPD) dalam menyediakan fasilitas publik secara profesional, transparan, responsive, partisipatif, akuntabel, ber-keadilan, efektif dan efisien sesuai dengan prinsip “good governance”.

Dari uraian diatas, timbul pertanyaan, kenapa hal itu terjadi, apa faktor penyebabnya, adakah dampak sosial politiknya dan strategi apa ke-depan yang harus dilakukan. Untuk menjawab semua pertanyaan itu tulisan singkat ini dibuat.

Tidak Ada Perubahan

Sepanjang pengamatan dan data yang penulis miliki bahwa selama lebih dari tiga tahun memimpin kota berpenduduk 225.000 jiwa, Maulan Aklil, sebagai Walikota tidak melakukan perubahan kebijakan mendasar, baik yang menyangkut pengembangan lingkungan fisik kota maupun terhadap kapasitas dan kapabilitas mesin birokrasinya, tetapi justru banyak membuat kebijakan yang kontra-produktif, seperti konflik internal ber-larut terus menerus se-akan sengaja dipelihara (kasus konflik walikota dengan wakil walikota yang berlangsung hampir tiga tahun), yang sangat menguras energy, fokus, konsentrasi dan waktu yang diperlukan untuk perbaikan/penyempurnaan dan penyediaan fasilitas publik yang ber-mutu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan warga. Dalam pada itu, yang selalu kita dengar dari birokrasi adalah kegaduhan tetapi miskin prestasi. Selain itu, walikota tidak memiliki visi yang jelas dan melaksanakan program yang tidak konsisten berpedoman pada RPJMD/P yang telah ditetapkan oleh Perda.

Selain sebagai pusat pemerintahan, mau di-arahkan ke-mana pengembangan Kota Pangkalpinang ke-depan, apakah juga menjadi kota pusat perdagangan/jasa dan/atau kota pariwisata, dan seterusnya dengan mempertimbangkan aspek-aspek, sosial, ekonomi, budaya, kemajuan teknologi informasi, unggulan kota serta posisi geo-strategis dan geo-politik serta lingkungan strategis kawasan yang terus berubah secara dinamis, terutama dengan pindahnya IKN ke-pulau Kalimantan, apalagi secara historis dan politis, Kota Pangkalpinang bersama Kota Mentok pernah ber-peran menyelamatkan nasib dan kelangsungan Republik ini lewat perundingan internasional yang diprakarsai PBB. Perubahan kebijakan bersifat kurang substantif, bahkan ia terjebak dengan paradigma pembangunan kota pada masa orde baru yang mengutamakan lingkungan fisik kota bersih dengan obsesi merebut PIALA ADIPURA yang oleh sahabat saya Prof. Ramlan Surbakti (1996) di pleset dengan ADIPURA-PURA sebagai indicator keberhasilan/prestasi KDH. Padahal, pendekatan ini memiliki kelemahan dalam metodologi penilaiannya yang didasarkan pada skoring (pasti tidak akan mampu mencapai nilai 100), dilakukan secara puposive/acak (tidak mencakup wilayah kota seluruhnya, terbatas terhadap kawasan/jalan protocol sudah barang tentu pasti bersih) serta bersifat MOMEN-OPNAME (bersih sesaat setelah itu kotor lagi). Mengutip pendapat orang Belanda, model pembangunan kota seperti tersebut bersifat “FOTOGRAFIS” hanya bagus dipermukaan saja. Itulah yang terjadi di Kota Pangkalpinang, pembangunan bersifat asesoris semata, seperti membuat patung dinosaurus disimpang DKT dan/atau Ketam Remangok diujung Kampung Selindung Lama yang tidak ada relevansi dengan kebutuhan riel warga kota, kecuali pendatang/pelancong dari luar kota.

Kemudian berlanjung dengan merobah tagline Pangkapinang Kota BERARTI menjadi Kota Beribu Senyuman, walaupun tidak sedikit warga kota senyum kecut melihat kondisi kotanya dari hari-ke-hari semakin semrawut. Juga singkatan nama/identitas Kota Pangkalpinang yang sudah puluhan tahun ber-laku dari PKP menjadi PGK yang sering dipleset sinis oleh warga kota dengan “Pangkalpinang Gubernur Kite”?. Kebijakan ini secara sosiologis legitimasinya sangat rendah, sebagai bukti kita masih menyaksikan pada batu nisan disetiap komplek pekuburan warga masih tetap setia dan konsisten menggunakan akronim PKP untuk Kota Pangkalpinang. Sebaliknya, kita masih menyaksikan Terminal sepanjang jalan yang mungkin satu-satunya di Indonesia, padahal ada 3(tiga) terminal resmi. Demikian juga dengan Trotoar setelah direnovasi dengan biaya besar diokupasi PKL, bahkan diatasnya dibuat bangunan semi permanen dan permanen tanpa ada Law Enforcement. Badan Jalan juga diokupasi PKL dan Parkir, padahal menurut UU Jalan dan Lalu Lintas Pemda wajib melindungi keselamatan dan keamanan para pengguna jalan, lihat saja kesemrawutan itu sebagai contoh di kawasan Pasar Inpres.

Akibat menejemen pengelolaan yang buruk (tidak ada pembagian kerja yang jelas antara Dinas LH dan Kelurahan) sampah/pasir/limbah berserakan tersebar di selokan, parit, bandar, gorong-gorong, jalan, gang-gang, pekarangan, tanah pekarangan kosong menjadi tempat TPA sampah, karena tidak disediakan lagi bak sampah dengan alasan yang tidak rasional. Dalam pada itu, setiap rumah tangga dipungut iuran wajib Rp.15.000,-/bulan tanpa ada pertanggungjawaban secara administrasi. Demikian juga implementasi RT/RW tidak konsisten, fungsi dan pemanfaatan zona kawasan ber-ubah-ubah dengan mudahnya yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Kawasan permukiman menjadi pasar dan/atau pergudangan serta kawasan konservasi hutan kota dan rekreasi menjadi kawasan PKL, bahkan PKL dengan bebas/leluasa berjualan dekat perumahan pejabat pemerintah, keamanan yang dari aspek ke-amanan harus disteril dari PKL, seperti kawasan Jalan Merdeka/Taman Sari, maka tidak heran bau busuk menyergap hidung kita ketika melewati kawasan permukiman seperti dikawasan Jalan Air Itam, karena selokan parit mampet penuh dengan limbah sampah. Kenapa tidak me-revitalisasi kawasan “Pasar Mambo dan Gang Singapur” yang memiliki nilai historis dan sosiologis serta secara tradisional memiliki fungsi sarana komunikasi bagi warga kota khususnya dan Bangka pada umumnya. Kenapa tidak belajar dan menarik pengalaman dari kebijakan Pemda DIY/Kota Yogyakarta memindahkan PKL disepanjang Jalan Malioboro. Selain itu, kualitas pelayanan dasar dalam urusan administrasi per-izinan dan kesehatan mutatis-mutandis dengan kualitas pelayanan dasar pada fasilitas public sebagai diuraikan diatas.

Faktor Penyebab, Dampak dan Strategi

Menurut penulis ada beberapa faktor penyebab rendah kualitas pelayanan dasar yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Pangkalpinang:

1) Kepemimpinan dan Kapasitas Menejerial Walikota

Gaya model kepemimpinan yang kurang akomodatif dan komunikatif yang hanya mau didengar tidak mau mendengar menyebabkan terjadi “bias” dalam mengidentifikasi dan memformulasikan kebijakan sesuai dengan kemajuan dan kebutuhan warga kota. Selain itu, cendrung menerapkan menejemen konflik yang berdampak “pengunduran massal” para pejabat eselon yang memiliki kompetensi dan prestasi karier yang gemilang, dan konflik dengan wakil walikota cukup lama hampir tiga tahun yang untuk pertama kali terjadi di Pemerintah Kota Pangkalpinang. Kemudian kebijakan membawa “gerbong pendatang” untuk jabatan tertentu menimbulkan kegelisahan dan keresahan dikalangan ASN terhadap perkembangan karier mereka, pada hal kompetensi dan kapasitas profesional yang mereka miliki tidak kalah dengan gerbong pendatang. Campur tangan/intervensi pihak external dalam pengisian jabatan semakin menambah kompleks permasalahan yang dihadapi. Gaya kepemimpinan dan menejerial walikota menjadikan birokrasi/ASN tidak focus dan konsentrasi untuk menjalankan tugas/fungsi secara optimal, termasuk penyediaan pelayanan dasar yang berkualitas, karena itu harus merubah gaya menjadi kepemimpinan yang demokratis dan menerapkan menejemen prima dengan membuat standar pelayanan (dalam bentuk maklumat) yang akan menjadi acuan bagi masyarakat dan pemerintah sebagai transaksi pelayanan public yang transparan, akuntabel, responsive serta mampu memberdayakan masyarakat dan birokrat/ASN kota;

2) Faktor Kelembagaan dan Dukungan Anggaran

Kalau diteliti struktur organisasi Pemerintah Kota Pangkalpinang terlalu gemuk, tetapi miskin fungsi bahkan ada yang tumpang tindih tugas dan fungsinya. Paling tidak ada 60 jabatan eselon/structural termasuk 18 OPD berbentuk dinas. Pembentukan unit kerja hendaknya tidak didasarkan pada kepentingan akomodasi dan kooptasi kepentingan politik KDH, tetapi hendak didasarkan pada pertimbangan prioritas/relevansi dengan pelaksanaan urusan pelayanan dasar sebagai bagian dari urusan wajib dan keunggulan daerah serta dukungan anggaran.

Pada catatan penulis selama tiga tahun ini (APBD 2019,2020 dan 2021) tidak terjadi peningkatan kemampuan anggaran (terutama PAD) yang signifikan. PAD masih sekitar 15% – 17% jauh dibawah standar nasional minimal 30% dari total pendapatan. Belanja pegawai (langsung dan tidak langsung) masih mengambil porsi yang besar sekitar 46% – 55%. Sedangkan belanja modal 25% – 26%. Dari data diatas, perlu dilakukan re-struktur OPD dari 18 Dinas menjadi 7 – 8 Dinas, dengan prioritas dan pertimbangan pembentukan unit kerja (OPD) didasarkan pada relevansi pelaksanaan pelayanan dasar dan unggulan daerah. Last But Not Least masih ada waktu kurang dari 2 (dua) tahun untuk walikota memperbaiki kinerja, khususnya dalam penyediaan pelayanan dasar/fasilitas public yang dapat memuaskan keinginan warganya. Apabila gagal akan dapat berpengaruh terhadap kepuasan terhadap kepemimpinan dan berujung pada penurunan tingkat kepercayaan yang berpengaruh terhadap tingkat elektabilitasnya dan bukan tak mungkin semakin tergerus, apalagi pada PILKADA 2018 dengan jumlah pemilih 126.949 dengan tingkat partisipasi 62,3% dan perolehan suara 31.629 (41,1%) sesungguhnya riel hanya 28,97%, artinya Maulan Aklil hanya didukung kurang 1/3 warga kota yang memiliki hak pilih, dan secara politik legitimasinya rendah dan rawan pada PILKADA Tahun 2024 mengingat konfigurasi dan konstalasi politik PILKADA 2024 sangat kompetitip apalagi tampil nama-nama yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi, seperti pasangan Herry Erfian Rosman DJohan, Dr. Agus Suryadi Yamani, dan Nico Plamunia Utama serta Ir. Bardian.

Oleh Achmad Fikry Rachman*

*Mantan Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara dan Ketua Program Pengelola FISIP Universitas Sriwijaya Kampus Palembang

Pangkalpinang, Mei 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed