ASN Jangan Terjebak Komersialisasi Gelar Akademik

Opini publik404 views

Bangka-Belitung|jejakkriminal.com, -Beberapa tahun lalu, Saya kedatangan seorang rekan ASN (Aparatur Sipil Negara) salah satu instansi pemerintah daerah di Kepulauan Bangka Belitung. Adapun maksud kedatangan ingin konsultasi dan mencari pemecahan masalah yang sedang dialaminya, yakni ditolak proses penyesuaian pendidikan setelah yang bersangkutan menyelesaikan pendidikan program studi S2 disatu perguruan tinggi oleh Badan Kegegawaian Negara (BKN), karena tingkat pendidikan S1 dengan S2 tidak linier. Kemudian beberapa hari yang lalu Saya mendapat telepon dari sahabat, seorang guru P3K tamatan S1- Sosiologi yang ingin melanjutkan studinya di program S2 di satu perguruan tinggi tetapi tidak linier dan meminta pendapat dan saran Saya, apakah kalau melanjutkan pendidikan di program studi S2 tersebut akan mengalami hal yang sama proses penyesuaian ijazah seperti yang dialami oleh rekan sebagaimana diurai dimuka. Kemudian, sebagai salah satu orang yang pernah berkecimpung di dunia akademik banyak datang pertanyaan sekaligus meminta penjelasan kepada penulis, apakah mungkin dan lazim terjadi proses pendidikan program studi S2 dengan kelas jauh oleh suatu perguruan tinggi selesai dalam masa 8 (delapan) bulan dengan IPK 4, dan apakah ada konsekuensi bagi ASN dalam penyesuaian ijazah nanti.

Kesan dan pengalaman saya sebagai widyaiswara, data menunjukkan bahwa masalah penyesuaian ijazah menjadi issue krusial bagi ASN setelah menyelesaikan pendidikan S2 yang dilalui dengan segala pengorbanan, baik waktu, tenaga apalagi biaya yang tidak sedikit yang ber-akhir dengan sia-sia bak pepatah “Arang Habis Besi Binasah”. Seiring maraknya tawaran pendidikan program S2 dari banyak perguruan tinggi, agar tidak mengalami hal yang sama hendaknya ASN perlu ke-hati-hatian dan mengikuti prosedur, standar dan norma yang berlaku sebagai diatur dalam per-Undang-Undangan, bilamana memutuskan untuk mengembangkan kompetensinya melalui jalur pendidikan program S2. Untuk kepentingan menjawab pertanyaan diatas, dan mencari tahu kenapa hal ini terjadi serta bagaimana seharusnya ASN dan PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) menyikapinya, untuk itulah tulisan singkat ini dibuat.

Kenapa terjadi ?
Menurut hemat penulis, masih hidup dan berkembang kultur dan nilai-nilai feodalisme dikalangan masyarakat kita yang ber-orientasi vertikal dengan memberi penghormatan status sosial yang tinggi kepada orang yang bergelar bangsawan, seperti: KRT, RM, R, RAY, KgS, Kemas dan seterusnya. Dalam pada itu, seiring dengan perkembangan masyarakat dan modernisasi, orientasi pada status yang vertikal itu tidak fungsional lagi. Itulah kenapa sekarang kita tidak pernah lagi menyaksikan pemberian gelar bangsawan tersebut diatas oleh kraton.

Kini sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, terutama dalam jabatan birokrasi pemerintah ditopang oleh mentalitas orang Indonesia yang cendrung mengabaikan mutu dan suka menerabas (Koentjara Ningrat, 1994), sebagai pegantinya orang berlomba-lomba mengejar gelar jabatan dan akademik, seperti: Professor, Doktor dan Master tanpa mengindahkan prosedur, standar dan norma akademik yang lazim berlaku. Kondisi sosio-psikologis, kultural dan tuntutan birokrasi ini dimanfaatkan sejumlah perguruan tinggi yang mengabaikan mutu dan cendrung komersil dan mengabaikan aspek pengembangan kompetensi ASN, karena itu bukan hal yang aneh kalau kita menjumpai ada suatu perguruan tinggi menyelenggarakan program pendidikan S2 dengan kelas jauh selesai dalam masa 8 (delapan) bulan dengan IKP 4 (empat). Sulit membayangkan ASN memiliki kompetensi keahlian kalau pendidikan S1 dengan S2 tak linier, misalnya S1 adalah ST sedang S2 MAP, dan bila ini terjadi sangat mempengaruhi pengembangan karier di masa depan, terutama untuk menduduki jabatan pimpinan tinggi, administrasi dan pengawas sesuai dengan tuntutan reformasi birokrasi.

 

Apa yang harus dilakukan ?

Bagi ASN agar pendidikan program S2 yang dilakukan dengan segala pengorbanan, baik waktu, tenaga, pikiran dan biaya yang tidak sedikit tak menjadi sia-sia sebagai diurai dimuka, maka perlu sikap PRUDENT dalam memilih program studi dan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan program studi S2 dengan berpedoman pada UU No.5/2014 dan SE MENPAN RB No.28/2021, terutama (1)Status-AKREDITASI Perguruan Tinggi yang bersangkutan minimal harus predikat Amat Baik (B), bukan ber-Akreditasi Baik (C); (2)Program Studi S2 yang dipilih harus linier, misal jika S1 adalah ST maka S2 harus MT.; (3)Ber-status Tugas Belajar, baik yang dibiayai oleh anggaran negara maupun atas biaya sendiri yang ditetapkan oleh pejabat pembina kepegawaian (kepala daerah).

Bagi kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) pengiriman dan penetapan ASN sengan status tugas belajar ke suatu perguruan tinggi hendaknya didasarkan dan sesuai dengan perencanaan kebutuhan organisasi yang telah disusun, bukan didasarkan atas pertimbangan kepentingan politik PPK semata, Primordial serta Kronisme. Rekrutmen peserta harus bersifat transparan, akuntabel, rasional serta ke-adilan. Selain itu, kebijakan ini dilakukan sebagai upaya mewujudkan ASN yang ber-karakter dan memiliki kapasitas profesional dalam menjalankan tugas dan fungsi serta mempercepat transformasi birokrasi dari bersifat Spoil System ke-Merit System sebagai dimaksud UU No.5/2014.

Selanjutnya, bagi perguruan tinggi penyelenggara program studi S2 hendaknya memiliki tanggungjawab moral dan sosial dan ber-kontribusi positif dalam pengembangan/peningkatan kompetensi/keahlian ASN melalui jalur pendidikan, dengan cara-cara yang tidak mengabaikan/meninggalkan prosedur, standar, norma dan nilai-nilai akademik yang lazim berlaku. Sebagai lembaga yang dihuni para ilmuwan hendaknya tak melakukan penghianatan intelektual dengan menyerah diri sepenuhnya kepada kepentingan pragmatis dari yang berkuasa, serta larut dalam praktek komersialisasi gelar akademik yang kecendrungan nya menggejala akhir-akhir ini di tanah air. Tetapi, justru perguruan tinggi harus memberikan kontribusi dan tanggungjawab moral dan sosial nya terhadap usaha-usaha pembangunan bangsa/negara yang mengutamakan dan cinta terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan sebagai yang menjadi sifat orang berilmu, apalagi secara historis kaum intelektual/ilmuwan memiliki tradisi gilang-gemilang dalam menyelamatkan dan membangun bangsa ini.

Akhirnya, menutup tulisa ini, Penulis ingin mengutip pendapat seorang Pengarang ber-kebangsaan Prancis hampir 100 tahun yang lalu, yang mengatakan: “Tugas seorang intelektual bukan untuk mengubah dunia, tetapi untuk tetap setia kepada cita-cita yang perlu dipertahankan demi moralitas ummat manusia, dan cita-cita itu adalah pada: Keadilan, Kebenaran dan Rasio”.

Pangkalpinang, 18/05/2022

Oleh: Achmad Fikry Rachman

Mantan Widyaiswara Madya pada BKN Regional VII Subangsel, Mantan Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Sriwijaya Kampus Palembang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed